Jumat, 06 Maret 2020

TELAAH PUSTAKA BUDAYA MATARAMAN (BUMI OREK-OREK)




Kawasan kebudayaan di Jawa Timur menurut Heru SP Saputra dibagi menjadi 6 wilayah yaitu kebudayaan Arek (Surabayan), kebudayaan Tengger, kebudayaan Madura, kebudayaan Mataraman, kebudayaan Pendalungan dan kebudayaan Using. Budaya Ngawi (Bumi Orek-Orek) merupakan salah satu bagian dari budaya Mataraman. Tentu saja kalau kita amati banyak sekali keragaman budaya dalam balutan kearifan lokal yang ada di Kab.Ngawi.
Dalam hal tersebut penulis mendapatkan amanah bersama Tim Dinas Kearsipan Daerah dan Perpustakaan Kab.Ngawi yaitu Bapak Slamet bersama Bapak Suyatno sebagai Kabid perpustakaan. Bersama beliau kami memadukan konsep yang akan kami sampaikan kepada narasumber utama yaitu Drs. Sudjono,M.M yang menjabat kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Timur.Setelah beberapa diskusi, artikel yang kami sodorkan mendapatkan masukan untuk diperbaiki. 
Kamis pagi hari setelah subuh, tanggal 5 Maret 2020, kami berangkat pada acara telaah Budaya di Yogyakarta. Walaupun hujan gerimis, selama perjalanan sekitar 3 jam, akhirnya kami tiba tepat waktu  di Balai Ghratama Pustaka. Tampak sudah menunggu di depan lobi sosok yang berwibawa dengan senyuman ramah melambai kepada kami. Ya…beliau adalah Pak Jono. Walau sebagai Kabid Provinsi dengan pangkat Pustakawan Ahli Utama dan pernah menjabat menjadi Pj Bupati Ngawi dan Nganjuk, tidak menampakkan aura pembatas antara sosok pemimpin dan bawahan. Justru beliau sangat ramah dan sesekali mengajak kami bercanda di antara tamu lain yang ada.
Peserta telaah budaya ini dihadiri oleh perwakilan 6 Provinsi di Jawa, yaitu DIY, Jatim, Jateng, Jabar, Banten,dan DKI.Selaian itu tampak pustakawan, mahasiswa dan  budayawan. Kebetulan penulis sempat berbincang share dengan Pak Agus Budayawan Yogya yang berasal dari Ngawi.
Acara digelar oleh Balai Layanan Perpustakaan DPAD DIY dengan tema “Mengenal Lebih Dekat Budaya Panji Dan Budaya Mataraman di Jawa Timur” (5/3) di Ruang Seminar Grhatama Pustaka ini, selain Bp.Jono sebagai narasumber dalam membawakan materi sharing dengan tim Arsipda Ngawi, juga dihadiri narasumber lain yaitu  Budayawan dari Sidoarjo yaitu Bapak Henri Cahyono yang membawakan tema Budaya Panji.
Adapun rincian materi telaah budaya terangkum sebagai berikut:
Perpustakaan berdasarkan UU Perpustakaan nomer 43 tahun 2007, Pasal 1, ayat 1)adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka, Sedangkan jenis-jenis perpustakaan:Perpusnas RI, Perpustakaan umum, Perpustakaan Sekolah/Madrasah, Perpustakaan khusus, Perpustakaan Perguruan Tinggi. Pemustaka adalah pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan.
Definisi budaya menurut KBBI merupakan Pikiran, akal budi atau adat istiadat; hasil kegiatan dan penciptaan batin atau akal budi manusia, misalnya  kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat budaya merupakan hal- hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
 Ragam budaya mencerminkan identitas  suatu negara. Dapat meliputi  pakaian, bahasa, rumah adat, maupun makanan dsb.  Sedangkan ragam budaya Indonesia  merupakan keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia dalam tautan Bhinneka Tunggal Ika
                Definisi literasi adalah kemampuan seseorang mengumpulkan informasi dari sumber-sumber bacaaan berupa buku, koran, majalah serta sumber-sumber lainnya. Kemampuan seseorang memahami yang tersirat dari yang tersurat dan kemampuan seseorang mengemukakan ide-ide sesuai informasi dan pengetahuan yang dimiliki.
Dalam hal pelestarian budaya, maka perlu mengkaji periodisasi generasi. Alasannya adalah perkembangan pesat teknologi membawa dampak positif dan negatif perilaku bagi generasi tersebut.
Adapaun dampak perubahan budaya membaca adalah minat baca berkurang, anak cenderung suka melihat gambar daripada membaca tuntas buku bacaan dan terjadi transformasi membaca melalui gadget smartphone yang lebih diminati. Oleh karena itu perlu adanya link connector antara untuk menangkal budaya negatif perilaku remaja dengan kearifan lokal.
Kata Ngawi berasal dari Bahasa sanskerta kata “awi” yang berarti bambu dan mendapatkan inmbuhan kata “ng:” menjadi ngawi. Kenapa Ngawi  disebut Bumi Orek-Orek?
Ngawi dikenal sebagai Bumi Orek Orek sejak tahun 1980an. Sebab adanya Tari Orek Orek yang sejak 1960an tumbuh subur dan berkembang dimasyarakat luas. Hampir disetiap acara tari ini selalu dipentaskan.  Tarian dengan gerak dinamis dengan pemain terdiri dari pria, wanita berpasangan. Menggambarkan muda mudi masyarakat desa yang sehabis kerja berat gotong royong, melakukan tarian gembira ria untuk melepaskan lelah.
Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah daerah Kab.Ngawi adalah menerapkan branding budaya yang dikenal dengan istilah “Branding Budaya Bumi Orek-Orek” .Branding budaya merupakan sebuah terobosan atau usaha dalam hal pengenalan kearifan lokal yang berupa cerita, tempat ataupun sejarah yang terdapat di Bumi Orek-Orek atau Ngawi “Ramah” kepada generasi muda untuk mendapatkan nilai-nilai edukasi yang berkarakter positif dalam pelestarian budaya. Oleh karena itu perpustakaan dapat berperan juga sebagai mediator dalam menggali branding budaya tersebut. Contoh kegiatan ini adalah dengan melakukan pendataan kearifan lokal yang ada lalu dikumpulkan dalam sebuah buku. Cara ini juga mudah dilakukan, yaitu dengan berkolaborasi dengan penulis untuk mengumpulkan data kearifan lokal yang ada untuk dikemas dalam bentuk tulisan bertemakan kearifan lokal setempat.
Dengan adanya data kearifan lokal tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai tali penghubung bagi generasi jaman now yang mengalami modernisasi gadget dan tidak kenal tentang apa itu sejarah maupun cerita nina bobo saat menjelang tidur. Selain itu dapat digunakan untuk mengenalkan dan mengajarkan falsafah sosial dan budaya dari nilai-nilai isi cerita di “Bumi Orek-Orek” yaitu  Kabupaten Ngawi.
Nilai pelestarian lingkungan, misalnya adanya sumber air atau “sendang” di pinggir sungai yang merupakan sebagai bagian alam wajib dipelihara dan dilestarikan. Termasuk lingkungan di sekitar sendang yaitu sungai dan hutan maka wajib di dukung sepenuhnya sebagai bagian masyarakat yang peduli terhadap pelestarian lingkungan. Nilai pelestarian ini juga terlihat dengan usaha penangkaran rusa di Monumen Suryo,
Beberapa tempat yang mempunyai hubungan dengan budaya juga banyak dijumpai di Ngawi misalnya Benteng Pendem Van Den Bosch pada masa era Perang Diponegoro, Museum Trinil tempat ditemukannya manusia purba Pytecantropus erectus dan situs arca hindu di Kecamatan Widodaren yang semua tempat tersebut juga mempunyai
Nilai budaya lain seperti kerjasama dapat terlihat dalam keseharian masyarakat seperti melakukan bakti di lingkungan sekitar misal balai desa, mushola, masjid. Dalam istilah jawa kerjabakti ini disenut “Gugur gunung” atau disebut juga sebagai “bina lingkungan” Bina lingkungan ini merupakan salah satu bentuk kemitraan warga setempat sebagai sistem sosial yang merupakan bagian dari struktur masyarakat
Nilai kepemimpinan dan nasionalisme dapat terlihat dari situs peninggalan Dr. Radjiman atau biasa di sebut sebagai Situs Kanjeng Dirgo. Nilai ini terlihat dari usaha beliau dengan memperjuangkan kemerdekaan melaui organisasi kebangsaan dan bidang kedokteran. Jiwa kepemimpinan ini juga terlihat seperti cerita tentang Mbah Wo Karsorejo, seorang tokoh lokal yang memberikan contoh sebagai pemimpin yang mau mencintai dan dekat dengan rakyat.
Cara lain dalam hal branding budaya adalah melakukan kolaborasi dengan seniman dalam menciptakan karya. Karya tersebut dapat berupa lagu, puisi maupun tari yang juga mempunyai tema kearifan lokal tempat di Ngawi. Beberapa lagu yang ngehits mulai bermuculan dari usaha branding budaya ini yang dilakukan oleh para generasi muda seperti Deny Cak Nan dengan lagu “Kartonyono Medot Janji” dan Talita Salsabila yang masih berstatus pelajar SMP dengan lagu “Taman Dungus” dan “Kota Ngawi”. Tempat lain misalnya Kebun Teh Jamus juga dijadikan lirik lagu oleh Darsono dan sempat dinyanyikan oleh penyanyi dangdut terkenal yaitu Via Vallen. seniman senior juga telah lama mengangkat lagu bertemakan tempat di Ngawi misal Didi Kempot dengan lagu Terminal Kertonegoro.
Bahkan Bupati Ngawi Ir.H. Budi Sulistyono atau biasa dipanggil “Mbah Kung” mencetuskan program “Sangawiah”, yaitu “Salam Ngawi Ramah” sejak tahun 2012.   Salam Ngawi Ramah ini dilakukan dengan cara pembiasaan jika dalam suatu acara atau pada saat kegiatan memberikan salam “Assalamualaikum warakhmatulahi wabarakatuh” dan audien menjawab “Wassalamualaikum warakhmatulahi wabarakatuh” dan setelah menjawab langsung diiringi dengan aplaus tepuk tangan bersama-sama. Sangawiah dilaksanakan di setiap kegiatan di instansi pemerintahan maupun kunjungan masyarakat dalam setiap sambutan ataupun kegiatan di sekolah, intansi dinas maupun kegiatan kemasyarakatan melakukan pembiasaaan dengan cara mengucapkan salam ramah tersebut.
Dari beberapa kajian di atas dengan melihat adanya berbagai ragam kearifan lokal sebagai cerminan budaya  di masyarakat Ngawi tentu merupakan keunikan yang perlu kita lestarikan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Furdyantanta (2008: 44) bahwa kearifan lokal merupakan ranah budaya manusia, dimana fungsi jiwa manusia dapat terbagi menjadi fungsi kognisi (cipta), afeksi (perasaan) dan konasi (karsa). Tiga Fungsi tersebut atau dikenal dengan istilah trisakti dalam perpaduan yang harmonis menjelma menjadi budi pekerti manusia. Dimana budi perkerti manusia merupakan bagian budaya karakter yang baik, terlebih untuk menangkal budaya luar yang dapat merusak moral generasi bangsa. Oleh karena itu dengan mengenalkan budaya terhadap generasi muda adalah cara yang baik untuk melestarikan budaya leluhur kita di “Bumi Orek-Orek”.
Untuk artikel saya dalam acara kegiatan tersebut, dapat diunduh dengan klik tautan berikut  https://drive.google.com/file/d/1Nq1CnXaVbTHVn7X2UgFSN5l3yeMNomYO/view?usp=sharing
 Semoga bermanfaat dan terima kasih.
.